Selasa, 17 April 2012

UN dan Pudarnya Pendidikan Karakter

 Setiap menjelang ujian nasional (UN), para peserta UN selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk menyiapkan diri supaya bisa lulus ujian. Tidak terkecuali dalam menghadapi ujian tahun ini yang rencananya akan dilaksanakan pada pertengahan bulan April 2012 untuk tingkat SMP dan SMA sederajat.
Persoalannya adalah di setiap UN digelar hanya menguntungkan daerah-daerah yang mutu pendidikannya lebih tinggi, tetapi lebih merugikan daerah-daerah yang mutu pendidikannya lebih rendah. Kita seringkali menyaksikan sekolah-sekolah dengan kondisi bangunan yang menyedihkan, peralatan sekolah yang serba minimal, dan guru yang serba kekurangan.

Meski semangat otonomi daerah (desentralisasi) sudah dikampanyekan dan digembar-gemborkan pada beberapa tahun yang silam, namun sistem pendidikan nasional belum secara sungguh-sungguh (masih setengah hati) membawa peserta didik menuju kemandirian berpikir. Karena sejak anak masuk sekolah, dunia mereka telah dirampas oleh mata pelajaran yang penuh dengan hafalan dan dijauhkan dari dunia mereka.

Dengan menitikberatkan pada materi-materi yang akan diujikan dalam UN, maka semua peserta diwajibkan untuk menghafal satu persatu, bahkan sampai pada penghafalan soal-soal yang dimungkinkan akan keluar dalam UN nanti plus jawaban-jawabannya. Jika dicermati secara seksama, fenomena semacam itu sesungguhnya mengindikasikan bahwa proses pendidikan di negeri ini ternyata masih mengalami kegagalan secara total.

Berbagai data penelitian membuktikan, mutu pendidikan Indonesia termasuk paling buruk di Asia, malahan untuk Asia Tenggara pun, mutu pendidikan kita termasuk paling rendah bersama dengan Kamboja. Vietnam yang dulunya jauh di belakang kita, sekarang pun mulai menapak ke arah kemajuan karena mutu pendidikan mereka yang terus menerus diperbaiki.

Hal itu menunjukkan bahwa, sebuah kegagalan pendidikan karakter yang sarat menimbulkan masalah yang terus menerus dan makin rawan. Terbukti, pengangguran terus saja bertambah karena lapangan kerja baru tak mampu diciptakan. Bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi lebih maju, jika SDM dan karakter generasi belum tergarap dengan baik, menciptakan fasilitas dan sistem pendidikan yang lebih baik.

Sangat wajar, jika perjalanan nilai-nilai arah perjuangan di negeri ini tak kunjung jelas. Konstitusi yang telah diamandemen, ratusan undang-undang baru terus dibuat, tapi SDM anak bangsa tak pernah disiapkan secara sistematis dan terencana untuk meneruskan perjalanan peradaban bangsa. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka hampir dipastikan jalan sejarah bangsa ini tidak akan pernah menuju perbaikan tapi malahan akan semakin terperosok pada jurang kebobrokan.

UN dan segala proses pendidikan yang didukung kurikulum yang juga tidak terarah hanya menjadikan anak didik mengejar nilai di atas kertas, abai pada penguasaan materi tidak mampu menjadi generasi yang disiapkan menjadi seorang ahli dengan kapasitas intelektual tinggi. Lantaran aspek kelulusan UN yang hanya bermuara pada aspek intelektual (kognitif) harus diubah pada penilaian aspek pendidikan yang lebih komprehensif, yakni bermuara pada aspek keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif). Sejatinya, yang harus dikembangkan adalah bagaimana para siswa mampu memahami, dan bukannya menghafal mata pelajaran sebagaimana yang diasumsikan dalam konsep UN.

Dengan demikian, UN sedikit menyalahi tujuan pendidikan nasional dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, berbunyi "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab".

Proses Memanusiakan Manusia

Padahal UU tersebut telah sejalan dengan konsep pendidikan Paulo Freire, bahwa keberlangsungan proses pendidikan meliputi transfer of knowledge, transfer of value, dan transfer of ideology. Di dalamnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanis), pengangkatan manusia ke taraf insan Al-kamil. Keberlangsungan proses ini, menjadi dalil argumentatif dan affirmatif signifikansi pendidikan sebagai salah satu identitas peradaban umat.

Penanaman karakter bangsa kepada para siswa bukan hanya tugas lembaga sekolah semata, tetapi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan sekolah. Namun, sekolah sebagai salah satu instrumen dapat menjadi agen dalam membentuk karakter bangsa yakni menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia kepada para siswa. Selain melalui mata pelajaran, kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan rutin, spontan, dan keteladanan.

Maka urgensi etos pendidikan karakter adalah menekankan nilai-nilai moral dan akhlak mulia bukan pada nilai secara kuantitatif, pendidikan karakter bermuara pada kearifan lokal. Bukan berarti budaya import yang tidak sesuai dengan karakter bangsa asli Indonesia. Sehingga, pengembangan manusia Indonesia berbasis kearifan budaya lokal terarah kepada berpola pikir untuk kelangsungan eksistensi bangsa. Berfikir, bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya alam juga selaras dengan kebutuhan bukan karena keinginan.

Spirit pendidikan karakter berangkat dari sebuah proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) yang berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil sesuai tuntutan agama dan zaman. Model pendidikan ini, akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) berupa solusi  terhadap diskursus atau wacana yang menghegemoni, menindas dan dehumanisasi seperti sekarang ini akibat mengejar nilai UN. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar