Apakah
pendidikan Sex itu perlu ? Pertanyaan ini selalu menjadi pro dan kontra,
bahkan lebih banyak yang kontranya daripada yang pro. Ada seorang Ulama yang berkata “Meri ge teu diajar bisa endogan” (Itik tidak diajaran juga bisa bertelur). Masalahnya, kalau itik melakukan pergaulan bebas
dimana saja, kapan saja, tentu tidak ada yang melarang, namanya juga
binatang, nah kalau manusia ? sekarang nikah, kemudian besoknya sudah
melahirkan, sudah pasti menjadi bahan pergunjingan. Walah sekarang serba cepat ya ………., walah sekarang serba instant ya …….. dan banyak kata-kata negatip yang keluar dari mulut orang sekitarnya. Bahkan Menteri Pendidikan pun sudah menegaskan tidak akan
memasukan Pendidikan Sex pada kurikulum, ya jangan dimasukan lah sebab
nantinya bisa kebamblasan apalagi kalau harus ada praktikum wakakak
tidak terbayang hehehh. Tapi walaupun demikikan, kita sebagai pendidik
(khusus guru dan orang tua) tidak ada salahnya membahas sedikit tentang
sex, disesuaikan dengan usia si anak.
Berdasarkan pengamatan, ternyata remaja putri yang terjerumus pergaulan seks apapun alasannya disebabkan oleh 2 hal, yaitu
- Ketidak tahuan akan masalah sex, sehingga dia mencari sendiri.
- Lingkungan keluarga, menganggap membicarakan masalah sex, merupakan sesuatu yang tabu.
Ada
pengalaman yang menarik, tentang masalah pendidikan sex ini. Saya mulai
mengajar di salah satu SMP sekitar tahun 1988 (walaupun belum pernah
mengenyam bangku kuliah kependidikan) pada waktu itu mengajar Fisika.
Saya perhatikan tiap tahun ada saja siswi yang dikeluarkan dari sekolah
karena hamil, dan lucunya yang pertama mendeteksi siswa tersebut hamil
ya saya pribadi, jangan salah sangka dulu bukan saya yang melakukannya,
suer samber gledek deh heheh. Saya bisa mengetahui siswa hamil lebih
cepat dari rekan-rekan lain yang sudah berpengalaman, dikarenakan memang
semula cita-cita saya menjadi dokter kandungan, tapi berhubung masalah
ekonomi dan yang paling parah tidak kuat melihat darah, maka dengan
sangat terpaksa cita-cita tersebut dihempaskan begitu saja.
Pada waktu itu saya tidak bisa
berbuat banyak disebabkan yang pertama usia saya dengan siswa hanya
terpaut 7 tahun sehingga untuk membicarakan masalah sex terasa gamang,
kemudian yang saya ajarkan pelajaran Fisika jadi tidak nyambung kalau
membicarakan masalah sex. Keberanian muncul yaitu sekitar tahun 1992
ketika diberi kepercayaan mengajar Biologi. Dimulai dari hal yang kecil
seperti siklus menstruasi dan menjelaskan perempuan yang sudah
menstruasi sudah siap untuk hamil dan melahirkan anak,
kemudian bertahap mejelaskan alat reproduksi pria dan wanita dan
kebetulan hal ini ada pada kurikulum.
Kalau ada berita di koran atau
di TV tentang tertangkapnya seorang wanita karena membuang bayi yang
dilahirkannya, saya selalu bertanya pada siswa, “Siapa yang ditangkap ?” mereka serempak menjawab si wanita, kemudian pertanyaan dilanjutkan “Laki-lakinya ditangkap tidak”, mereka serempak menjawab tidak, kemudian pertanyaan diakhiri dengan “Kalau demikian siapa yang rugi ?”, mereka serempak menjawab yang rugi adalah si wanita, setelah itu sedikit diberi penjelasan kerugian si wanita berlipat ganda
- kehilangan kehormatan
- dirinya, keluarganya, bahkan sekolah juga malu
- Melahirkan sendiri, tanpa ada yang membantu, untung kalau selamat kalau mati pada waktu melahirkan dia tidak sempat bertobat
- Dipenjara
Dosanya pun berlipat ganda yaitu
perjinahan, kemudian pembunuhan. Saya selalu menekankan bahwa kita
jangan memikirkan hukuman di akhirat nanti, tapi pikirkan akbiatnya di
dunia.
Sampai sekarang perbincangan
tersebut selalu dilakukan di kelas bila ada kesempatan, dan Alhamdulilah
sejak saat itu tidak pernah lagi ada siswi yang dikeluarkan karena
hamil. Saya sarankan pada rekan guru dan orang tua, jangan segan
membicarakan masalah sex yang disesuaikan degan umur siswa, karena
mereka terjerumus karena ketidak tahuan, karena ketidak tahuan mereka
berusaha untuk mencarinya sendiri. Kalau sudah terjerumus ada istilah “Kagok Borontok, Kapalang Belang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar