Bangsa ini adalah bangsa yang
besar. Banyak orang pandai berasal dari anak negeri. Tapi kenapa kita selalu
terpuruk? Benarlah apa yang dikatakan Dr. M. Syafii Antonio,
“… negeri
ini tidak bisa makmur walaupun kecukupan sumber daya alam dan manusia, karena selama
ini salah urus”.
Seharusnya lah negara ini diurus oleh orang-orang
yang ahli di bidangnya, serta jujur dan amanah. Namun anggota DPR kita,
beberapa menteri, pejabat-pejabat pusat dan daerah, silakan anda nilai sendiri.
Simak hadits kanjeng Nabi saw berikut,
“Apabila
amanat itu disia-siakan maka tunggulah kehancurannya, seseorang bertanya:” Ya
Rasulullah, bagaimanakah penyia-nyiaanya?” Beliau bersabda: “Apabila sesuatu
urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kerusakannya.”
(HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabud Da’wat:
VIII/129)
Kapan Kaum Ilmuwan Kita di Manca Negara Beroleh
Tempat Di sini?
Karena penasaran, saya nonton Kick Andy sekali
lagi sore hari Minggu ini, karena Jumat kemarin sembari terkantuk-kantuk dan
tidak tuntas karena ketiduran. Apalagi seorang teman menulis di status
facebook-nya mengomentari tayangan tersebut … yang intinya memaklumi mengapa
banyak orang pintar anak bangsa yang justru “terpakai” di negeri orang.
Episode yang ditayangkan perdana hari Jumat
tanggal 4 Desember tersebut berjudul: BERPRESTASI DI NEGERI ORANG.
Mengetengahkan beberapa orang pintar anak bangsa yang “kebetulan” sekarang ini
dipercaya sebagai orang penting di luar Indonesia. Dari 7 orang yang seharusnya
diundang, hanya 6 yang tidak berhalangan, yakni: Suhendra, Andreas Raharso, Yow
Pin Lim, Ken Sutanto, Muhammad Reza, dan Etin Anwar. Nelson Tansu tidak bisa
hadir karena kesibukannya.
Mereka adalah orang-orang hebat! Suhendra dan
Muhammad Reza di usia pertengahan 30-an telah menjelma menjadi orang penting di
Jerman dan Sedia. Ken Sutanto adalah pemegang 4 gelar Doktor dan mencatatkan
serangkaian paten di dunia kedokteran di Jepang dan Amerika Serikat. Nelson
Tansu adalah profesor termuda di pantai Timur Amerika Serikat, dan pengajar S2
dan S3 di almamaternya Lehigh University.
Yang paling menarik, menurut saya, adalah kisah
hidup Prof. DR. Ken Sutanto (kelahiran Surabaya tahun 1951) dan pemikirannya.
Sebenarnya ia tidak sempat lulus SMA karena sekolah Tionghoa ditutup, dan ia
harus membantu kakaknya berdagang elektronika selama beberapa tahunan. Setelah
merasa punya modal, ia menempuh jalan akademis di luar negeri, sekalipun
kakaknya tidak setuju. Katanya: Orang sekolah untuk jadi cukong, kalau sudah
jadi cukong seperti sekarang kenapa harus sekolah lagi?
Ken Sutanto yang memperoleh gelar PhD dari empat
perguruan tinggi yang berbeda, dan sempat bekerja di Amerika Serikat, akhirnya
dipanggil kembali ke Jepang dan sekarang menjadi dekan di sekolah almamaternya,
Universitas Waseda Tokyo. Sebuah jabatan yang prestisius, karena selama berdiri
selama 125 tahun, baru kali ini dipimpin oleh seorang asing – dan orang itu
berkebangsaan Indonesia.
Kalau ditanya mau pulang ke Indonesia atau tidak:
Ken Sutanto tampaknya tidak akan pulang. Dia berkilah, PhD yang lebih senior
daripada dirinya dan harus pulang karena dibiayai perguruan tinggi di
Indonesia, ternyata pada akhirnya tidak bisa mengembangkan diri setelah pulang.
Tidak ada pekerjaan, istilahnya. No future! Itu di sampaikan padanya oleh
rekan-rekannya dalam sebuah kesempatan di Jakarta. Akan tetapi, dengan tegas
Ken Sutanto menyatakan tidak akan mengganti kewarganegaraan sekalipun banyak
negara yang menawarinya.
Saya pernah membaca, Prof. Nelson Tansu yang
berasal dari Medan juga berpikiran serupa. Bahkan sebenarnya tidak ada
sebelumnya percaya ia adalah orang Indonesia. Bahkan ada yang mengira ia
berasal dari Turki, karena saat itu Perdana Menteri Turki bernama Tansu
Chiller. Seorang teman pernah bercerita, ada seorang warga Indonesia yang
dikenalnya sekarang ini menjadi teknisi pesawat terbang paling prestisius di
dunia: Air Force One. Tentu saja, dia tinggal di Washington DC dan bekerja
dekat dengan bandara yang menjadi landasan pesawat kepresidenan tersebut.
Melihat Presiden atau Wapres Amerika lewat yang menjadi sensasi luar biasa bagi
orang lain, tidak baginya. Memang kehidupannya tidak bisa di-ekspos karena
kerahasiaan yang menjadi bagian dari pekerjaannya.
Penggagas terkumpulnya para ilmuwan tersebut
adalah anak-anak muda yang membentuk I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia
Internasional). Ketuanya sekarang, Achmad Aditya sekarang sedang menempuh
pendidikan pasca sarjana di Belanda, mengatakan bahwa impian anak-anak muda
tersebut adalah mengumpulkan pemikiran bagi perkembangan bangsa. Karena paham
bahwa mengumpulkan nama-nama orang pintar tidak mudah, target awal mereka
adalah 50 orang saja. Pada kenyataannya, sekitar 400-an orang yang akhirnya
tercatat.
Pada akhirnya, kita menjadi paham bahwa bangsa
ini bukan kumpulan orang-orang yang terpuruk. Kita ternyata memiliki ilmuwan
dan pemikir yang diakui di manca negara – sekalipun ternyata belum punya tempat
di antara kaum cerdik pandai di negeri ini. Mungkin keahlian mereka masih belum
membumi di bumi kita ini, sehingga masih lebih bermakna bagi bumi bangsa lain.
Mengutip kata DR Etin Anwar yang menjadi pengajar
studi Islam di Pensylvania, dirinya tidak keberatan kembali ke Indonesia. Akan
tetapi, seberapa bermakna ia bagi bangsa ini dibandingkan bila tetap berada di
Amerika Serikat dan mengajarkan tentang Islam dan perempuan dalam Islam bagi
warga Amerika Serikat.
Saya jadi teringat ucapan DR M. Syafii Antonio
dalam tausiah di TVOne siang tadi, bahwa negeri ini tidak bisa makmur walaupun
kecukupan sumber daya alam dan manusia, karena selama ini salah urus. Hal ini
berbeda dengan kondisi beberapa negara di Afrika yang memang kekurangan sumber
daya alam dan lemah dalam sumber daya manusianya.
Bangsa kita baru atau telah berusia 60 tahunan,
masih cukup muda sebagai bangsa. Tidak fair membandingkan kondisi bangsa ini
dengan negara-negara lain yang berumur lebih tua, atau seumur tapi dengan
jumlah penduduk yang lebih sedikit. Indonesia memang dirahmati Allah dengan
demografi yang unik: penduduk yang tersebar di 13,000-an pulau dengan bahasa
yang beragam, jumlahnya terbesr ke-4 di dunia, letaknya persis di persilangan
dua benua dan dua samudera, bahasa persatuan justru bukan dari suku terbesar
tetapi mampu mempersatukan keragaman bangsa.
Mungkin banyak orang yang menonton tayangan televisi belakangan ini bingung dan pesimis dengan masa depan bangsa. Peranan media yang dibebaskan oleh pemerintah untuk mengekspresikan apapun yang benar dalam koridor perundangan yang berlaku – sedikit banyak – turut membentuk kebingungan tersebut. Belum selesai mengupas sebuah masalah, sudah berpindah ke kasus lain. Kemudian terjadi penumpukan perhatian pada sebuah kasus, sementara kasus yang lain jadi sedikit terlupakan.
Mungkin banyak orang yang menonton tayangan televisi belakangan ini bingung dan pesimis dengan masa depan bangsa. Peranan media yang dibebaskan oleh pemerintah untuk mengekspresikan apapun yang benar dalam koridor perundangan yang berlaku – sedikit banyak – turut membentuk kebingungan tersebut. Belum selesai mengupas sebuah masalah, sudah berpindah ke kasus lain. Kemudian terjadi penumpukan perhatian pada sebuah kasus, sementara kasus yang lain jadi sedikit terlupakan.
Coba kita ingat, ketika semua orang membahas
kasus Prita, semua ikut. Ketika pemilu Presiden, kasus Prita terlupakan. Belum
genap mengawal agenda 100 kerja kabinet, semua media bicara soal kriminalisasi
KPK. Setelah Presiden angkat bicara, dan kasus KPK reda, semuanya berpindah ke
Bank Century. Kelatahan ini menjemukan, karena akhirnya kemanapun memindah
saluran televisi hal yang dibahas sama dan berulang-ulang. Narasumber yang sama
diundang ke sana kemari untuk berbicara hal yang sama.
Kita ini mudah lupa, atau mudah kehilangan
interes. Ketika sudah membahas kasus baru, kasus lama kehilangan daya tarik.
Kita mungkin sudah lupa bagaimana Polri berhasil menghapus gembong teroris
Norrdin M Top. Episode baru Prita mencuat lagi, saat ibu muda itu harus
berjuang menghadapi tuntutan 200 juta-an. KPK belum tuntas. Agenda 100 hari masih
perlu dikawal. Pembersihan di tubuh Polri, Kejagung, dan KPK harus tetap
diawasi.
Pada tanggal 9 Desember nanti, rencananya akan digelar demo anti korupsi besar-besaran yang menurut saya bagus sekali. Sayangnya, seperti biasa, akanbanyak kaum oportunis yang siap naik panggung lagi … meneriakkan anti korupsi ketika sebenarnya mereka telah kenyang dengan duit korupsi.
Dalam tausiah bersama Syofii Antonio, mantan Menpora Adhyaksa Dault menggaris bawahi kondisi riil bahwa korupsi di negeri tercinta ini 20% dikarenakan kebutuhan sementara yang 8-% disebabkan keserakahan. Mindset yang salah telah berkembang bertahun-tahun, bahwa sah bila pejabat punya rumah dan tanah yang luas. Sudah umum bila eks menteri selalu bertambah kaya. Bagaimana mungkin bertambah kaya bila pensiun seorang menteri hanya berbilang 2 – 3 juta rupiah per bulan.
Pada tanggal 9 Desember nanti, rencananya akan digelar demo anti korupsi besar-besaran yang menurut saya bagus sekali. Sayangnya, seperti biasa, akanbanyak kaum oportunis yang siap naik panggung lagi … meneriakkan anti korupsi ketika sebenarnya mereka telah kenyang dengan duit korupsi.
Dalam tausiah bersama Syofii Antonio, mantan Menpora Adhyaksa Dault menggaris bawahi kondisi riil bahwa korupsi di negeri tercinta ini 20% dikarenakan kebutuhan sementara yang 8-% disebabkan keserakahan. Mindset yang salah telah berkembang bertahun-tahun, bahwa sah bila pejabat punya rumah dan tanah yang luas. Sudah umum bila eks menteri selalu bertambah kaya. Bagaimana mungkin bertambah kaya bila pensiun seorang menteri hanya berbilang 2 – 3 juta rupiah per bulan.
Bangsa ini memang sedang belum sepenuh bangkit
dari keterpurukan setelah berpuluh tahun terbenam dalam keasyik masyukan
korupsi. Justru semakin sering kita mendengar kasus korupsi di media massa,
kita harus bersyukur sebab arahnya sudah benar: KORUPSI HARUS DITRANSPARANKAN.
Saya masih sangat meyakini, Allah Swt telah
memilihkan orang-orang terpilih untuk memimpin bangsa ini, lepas dari kelebihan
dan kekurangan mereka. Saya tetap yakin bahwa Presiden sekarang, Susilo Bambang
Yudhoyono, merupakan penjelmaan aspirasi rakyat yang sah. Kalaupun ada yang
tidak menyukai beliau, itu hak mereka, karena rakyat telah memutuskan sesuai
nurani mereka. Buktinya, beliau mutlak memenangkan Pemilu yang legitimate.
Suara rakyat adalah cerminan ijin Tuhan.
Ya Allah ya Rob, semoga bangsa ini segera
memberikan tempat bagi kaum cerdik pandai yang sedang menyumbangkan pikiran di
negeri orang. Kalau mereka yang pandai tersebut mengamalkan ilmu mereka bagi
bangsa … semoga bangsa ini kian menjadi teladan bagi bangsa lain di dunia.
Sumber:
http://mercusuarku.wordpress.com/2009/12/06/bangsa-ini-%E2%80%A6-besar-dan-mulia/
.
Para anak bangsa yang genius dan nasibmu
kini
Assalaamu ‘alaikum,
Ini dari email lama seorang teman, sebagai reminder saja. Bangsa kita memang tidak pernah kekurangan orang pintar. Sekali lagi, tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin potensi mereka demi bangsa kita. Tanpa reward yang seimbang tentunya menjadi hal yang gak fair. Bagaimana pun mereka tetap manusia yang juga ingin hidup layak dan berkecukupan.
Ini dari email lama seorang teman, sebagai reminder saja. Bangsa kita memang tidak pernah kekurangan orang pintar. Sekali lagi, tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin potensi mereka demi bangsa kita. Tanpa reward yang seimbang tentunya menjadi hal yang gak fair. Bagaimana pun mereka tetap manusia yang juga ingin hidup layak dan berkecukupan.
Saya jadi teringat seorang sahabat yang saya
temui bulan lalu. Dia seorang Doktor Teknik Penerbangan dan Antariksa lulusan
salah satu universitas termahsyur di Jepang. Baru balik ke Indonesia, sekitar
pertengahan tahun lalu, dan kini tengah mencoba mengembangkan roket, yang mana
ahli roket di nusantara hampir tidak ada.
Saya hanya sedih dan prihatin melihat kondisinya.
Bagaimana tidak, dia kini hanya tinggal di rumah kontrakan type 36 di sebuah
Perumnas di desa selatan Serpong. Sepeda motor pun dia tak punya. Anak dan
istrinya hanya mencoba untuk sabar saja. Secara lisan, dengan suara bergetar,
dia bercerita untuk tetap tegar akan semuanya serta berupaya konsisten dan
komitmen terhadap apa yang namanya ikatan dina dan pengabdian terhadap nusa dan
bangsa. Sudah terlampau banyak rekan-rekan dia yang “melarikan diri” dengan
bergabung ke perusahaan swasta maupun bekerja di LN. Biarlah, katanya,
saya akan pegang teguh idealisme saya ini, tukasnya dengan suara bergetar.
Namun sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kegetiran hidup dan kekecewaan
akan begitu rendahnya reward yang dia terima. Saya cuma bisa trenyuh dan gak
rela. Dia yang lebih genius dan lebih idealis, mengapa harus mengalami nasib
seperti ini. Dalam hati, saya sempat punya “pikiran jahat” untuk “meracuni” dia
agar meninggalkan apa yang namanya idealisme, dengan bertindak melarikan diri
seperti rekan-rekannya yang lainnya, agar bisa hidup lebih layak. Dirinya
mungkin bisa tahan, namun bagaimana dengan anak istri, yang secara manusiawi
ingin hidup mapan pula.
Entahlah, perasaan saya saat pulang dari sana
berkecamuk hebat. Saya kagum dan salut dengan sahabatku ini, karena di hari
gini masih ada orang yang berpikiran seperti dia dengan segala kekonsistenan
dan ketegarannya coba menghadapi semua kondisi yang ada sembari fokus ke
bidangnya. Namun hati saya sangat teriris, mengapa orang sepintar dia
nasibnya secara materi tak lebih baik daripada para “penjaja syahwat” (makanan,
seks, hiburan dll) yang ada di muka bumi ini? Orang se-idealis dia tak kan
pernah menuntut banyak. Tapi mengapa sepertinya ia “harus di-zhalimi” dengan
kehidupan yang sesungguhnya tak layak untuk dirinya? Wajarlah sudah kalau orang
pintar kita banyak yang enggan jadi martir konyol reward yang tak sepadan. Dan
mereka gak bisa disalahkan, sebab mereka alah manusia juga. Ada pihak otoritas
kita kan dapat menolong memperbaiki kehidupan orang pintar kita, semacam
sahabatku ini, minimal dengan memberi reward yang cukup untuk kehidupan yang
lebih layak?
Kalau memang tak sanggup, ingin rasanya saya
“berjanji” meracuni pemikirannya agar membuang jauh-jauh 9 kata konyol lama
(idealisme) dan menggantinya dengan 9 kata smart baru (realistis). Hari gini,
tak perlu lagi berpikir masalah pengabdian. Yang perlu cuma take and give.
Pengabdian sudah jadi cerita usang, karena yang didapat cuma sakit hati semata.
Kecuali kita mau meng-ikhlaskannya semari ebraharp reward yang lebih baik dari
Sang Maha Kuasa kelak di hari akhir nanti.
Wassalaam,
=====================================================================
Anak Bangsa di Mancanegara Ilmuwan
Terkemuka tidak Kembali
SEORANG pasien dari Indonesia berobat ke Belanda.
Di ‘Negeri Tulip’ tersebut ternyata sang pasien harus menunggu beberapa hari
sebelum ditangani dokter. Namun, alangkah kagetnya dia ketika dia mengetahui
sang dokter yang ditunggu adalah dokter dari Indonesia yang termasuk salah satu
ahli ginjal kelas dunia.
Sebenarnya, kisah anak bangsa yang pintar dan
sejajar dengan ilmuwan dunia bukan cerita baru. Jumlah mereka tidak banyak,
apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Tapi, yang
segelintir ini tersebar di seantero dunia seperti Amerika Serikat, Singapura,
Jepang, dan Jerman.
Mereka di antaranya ada yang menjadi siswa asing
di perguruan tinggi sekelas Massachusset Institute of Technology (MIT),
Stanford University, Princeton University di Amerika Serikat, Nanyang
Techonological University, Singapura, hingga Tokyo University di Jepang.
Di sana mereka juga bukan siswa sembarangan.
Sebut saja Widagdo Setiawan, Peter Sahanggamu, Rezi Pradigta, yang pernah
meraih medali emas dan perak International Physics Olympiad (IPhO) itu. Mereka
kini terpilih sebagai tujuh wakil MIT. Tahun lalu, mereka ikut serta dalam
kompetisi fisika tahunan antar-universitas di Amerika yaitu Boston
Undergraduate Physic Competition. Tentu bukan kompetisi sembarangan, karena
peserta lainnya diwakili enam universitas level atas seperti Harvard
University, California Institute of Technology, Stanford University, Princeton
University, Burkley University, dan Bremmen University dari Jerman. Hasilnya
juga tidak jelek. Rata-rata mereka menjawab empat soal dengan sempurna dari
enam soal yang ada.
Alumni TOFI lainnya, Evelyn Mintarno, peraih perunggu
IPhO 2002 yang kuliah di Stanford University malah menjadi asisten peraih Nobel
Fisika 1996, Doglas D Osheroff. Beberapa alumni TOFI yang telah meraih gelar
doktor, menurut Yohanes Surya, sudah bersiap pulang. Seperti Oki Gunawan,
peraih PhD dari Princeton University atau Hendra Johnny Kwee yang akan meraih
PhD-nya di bidang fisika dari College of William and Marry, Virginia Amerika
Serikat.”Saya sarankan agar mereka di sana dulu untuk memperkuat posisi. Kalau
mereka punya riset hebat, akan banyak orang Indonesia lain yang ke sana menjadi
muridnya. Profesor yang cerdas bisa mendapatkan grant riset. Jumlahnya besar
dan ia bisa membiayai siswa lain yang mau belajar. Saya juga minta supaya
Nelson Tansu menarik orang-orang Indonesia untuk riset di sana,” ujar Yohannes
Surya, Ketua Tim Olmpiade Fisika Indonesia.Nelson yang ia sebutkan ialah alumni
TOFI yang meraih gelar Phd dari University Wisconsin, Madison, Amerika Serikat
tiga tahun lalu, saat usianya masih 25 tahun. Kini, Nelson Tansu menjadi
profesor di Lehigh University, Pensylvania, sebuah universitas ternama di
bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast Amerika Serikat. Dari puluhan
riset yang dilakukannya, ia mematenkan tiga penemuan ilmiahnya di Amerika
Serikat. Yaitu bidang semiconductor nanostructure optoelectronics device dan
high power semiconductor laser.
Menghargai ilmu Riset yang mendapat tempat hingga
gaji dunia akademisi yang bersaing dengan gaji di dunia industri menjanjikan
sebuah kepuasan intelektual di samping kepuasan materi. Beberapa nama yang
tersebut di atas hanyalah segelintir dari anak bangsa yang berjaya di negeri
orang dan bersaing di dunia internasional. Masih banyak siswa-siswa lain yang
tidak ikut berkompetisi melalui ajang-ajang seperti olimpiade, namun ikut
menimba ilmu di universitas bergengsi.
“Universitas seperti Nanyang Singapura, misalnya,
rajin sekali mencari siswa ke Indonesia. Mereka banyak memberikan kesempatan
beasiswa untuk lulusan sekolah menengah umum di Indonesia,” sebut Rosyid
Ahmadi, salah satu koordinator olimpiade sains nasional dan internasional dari
Dinas Pendidikan Nasional.
Kondisi yang kondusif di luar negeri membuat
mereka memilih tinggal dan bekerja di sana. Contoh nyata adalah Ken Soetanto.
Pria berusia 54 tahun itu kini menjadi profesor di Waseda University, Jepang.
Bukan cuma itu, arek Suroboyo itu meraih empat gelar doktor ketika usianya baru
37 tahun. Soetanto yang bersekolah hingga SMA di Surabaya, bermodal nekat
ketika memutuskan untuk menuntut ilmu di Jepang pada 1974.
Saat itu ia tidak bisa berbahasa Jepang. Uang untuk membeli tiket serta biaya hidup beberapa bulan pun didapatnya dari tabungan pribadi selama enam bulan saat menjadi manajer di toko elektronik di Surabaya. Keinginan pemuda yang kala itu berusia 23 tahun, cuma satu, yaitu belajar elektronik di tempat asalnya. Ia sempat pergi ke Osaka untuk belajar bahasa Jepang sebelum melamar beasiswa untuk mahasiswa asing yang ditawarkan pemerintah Jepang.
Saat itu ia tidak bisa berbahasa Jepang. Uang untuk membeli tiket serta biaya hidup beberapa bulan pun didapatnya dari tabungan pribadi selama enam bulan saat menjadi manajer di toko elektronik di Surabaya. Keinginan pemuda yang kala itu berusia 23 tahun, cuma satu, yaitu belajar elektronik di tempat asalnya. Ia sempat pergi ke Osaka untuk belajar bahasa Jepang sebelum melamar beasiswa untuk mahasiswa asing yang ditawarkan pemerintah Jepang.
Impiannya belajar akhirnya terpenuhi ketika
namanya lolos pada deretan penerima beasiswa untuk kuliah di Tokyo University
of Agriculture and Technology, jurusan teknik elektro. Tak puas sampai di situ,
Soetanto melanjutkan program master dan doktornya. Ia meraih gelar doktor
bidang teknik di Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan bidang kedokteran
di Tohoko University tiga tahun kemudian. Beberapa tahun kemudian, ia meraih
gelar doktor bidang farmasi di Science University of Tokyo.
Sempat hengkang dari Jepang, Soetanto tercatat
sebagai associate profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson
University, Philadelphia, Amerika Serikat. Terakhir, ia memperoleh gelar doktor
di bidang pendidikan dari Waseda University.
Di luar prestasi akademik, pria yang masih
berkewarganegaraan Indonesia itu sempat tercatat sebagai komite pengawas di Japanese
Ministry of Economy and Industry. Buah pemikirannya tertuang dalam 31 paten
internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang. Bagi Jepang, Soetanto
merupakan aset bernilai tinggi yang dihargai Rp12 miliar per bulannya.(CA/M1)
* * *
Berharap dari Kelas Super Indonesia
TAHUN 2020 nanti Indonesia akan meraih nobel,
kalimat optimistis itu dilontarkan Yohannes Surya, kepada Media, akhir pekan
lalu. ”Lihat saja prestasi anak-anak kita beberapa tahun terakhir di ajang
olimpiade sains internasional,” ungkap ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia
itu.
Boleh jadi sang profesor ada betulnya, sebab prestasi cemerlang yang diraih putra bangsa ini bukan faktor kebetulan, melainkan lewat penggodokan yang memakan waktu berbulan-bulan dalam hitungan belasan jam tiap harinya.
Boleh jadi sang profesor ada betulnya, sebab prestasi cemerlang yang diraih putra bangsa ini bukan faktor kebetulan, melainkan lewat penggodokan yang memakan waktu berbulan-bulan dalam hitungan belasan jam tiap harinya.
China salah satu negara yang sukses melakukan
pembangunan dengan mengirimkan pelajarnya menuntut ilmu di luar negeri. Pada
era 80-an, seribu pelajar dikirim pemerintah China setiap tahunnya. Satu dekade
dari masa itu, hampir setiap perguruan tinggi di Amerika memiliki profesor asal
negeri Tirai Bambu. Mereka kemudian membawa lebih banyak lagi pelajar, selesai
pendidikan mereka membangun negaranya, tengok saja Shanghai dan Beijing yang
mengalami kemajuan pesat.
”Saya ingin Indonesia bisa seperti itu,” kata
Yohannes Surya, berangan-angan.Dengan fasilitas yang diberikan pemerintah,
tahun ini Yohannes menggagas sebuah kelas khusus tingkat sekolah menengah atas
(SMA) dengan 30 siswa yang ber-IQ (intelligence quotient) tinggi, rata-rata
tingkat IQ-nya 150 atau yang sangat berbakat.
Di kelas itu mereka dilatih secara istimewa namun
tidak mengekang minat, siswa-siswa itu tidak perlu memikirkan soal biaya, sebab
semuanya gratis. Pengajar mereka ialah para doktor yang dibayar oleh perusahaan
otomotif BMW. Materi yang akan diberikan yakni materi perguruan tinggi
setingkat S-1 dan S-2. Diharapkan dengan persiapan khusus sejak dini, mereka
akan mampu bertarung di dunia akademisi internasional, meraih gelar PhD.
”Kalau sudah begitu, mereka akan disukai profesornya dan mudah mendapat beasiswa, strategi kita tajam. Kita siapkan anaknya untuk dimasukkan ke universitas yang memiliki peraih nobel. Bisa jadi mereka dapat nobel, karena peraih nobel biasanya murid peraih nobel sebelumnya,” papar Yohannes lagi.
”Kalau sudah begitu, mereka akan disukai profesornya dan mudah mendapat beasiswa, strategi kita tajam. Kita siapkan anaknya untuk dimasukkan ke universitas yang memiliki peraih nobel. Bisa jadi mereka dapat nobel, karena peraih nobel biasanya murid peraih nobel sebelumnya,” papar Yohannes lagi.
Ke depan, pria berambut lurus ini punya obsesi
kelas-kelas khusus seperti itu dapat diadopsi di daerah lain, misalnya di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kota-kota lain di Jawa.Dia juga
mengakui selama ini penjaringan anak-anak berbakat itu masih tergantung kepada
pemerintah. Tidak hanya fisika, tapi juga bidang lain seperti matematika,
biologi, kimia, komputer, dan astronomi. Umumnya, seleksi dimulai dari
kabupaten berlanjut ke jenjang provinsi hingga nasional. Caranya setiap sekolah
mengirimkan wakil terbaiknya yang didapatkan dari seleksi. ”Prosesnya bisa
memakan waktu lama,” ungkapnya. Seleksi tim olimpiade komputer Indonesia (TOKI)
misalnya, memakan waktu sekitar delapan bulan sebelum akhirnya menemukan empat
wakil yang akan diberangkatkan Agustus mendatang.
Peraih medali perunggu pada International Biology
Olimpiad (IBO) 2005, Pratomo Andi juga mengakui, untuk olimpiade biologi
sebelumnya diadakan seleksi awal di sekolah masing-masing. ”Sebab banyak yang
mau ikut,” kata pelajar SMAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah.Bahkan tidak sedikit
pula sekolah yang asal comot berdasarkan peringkat kelas. Yohannes menilai
langkah seperti itu tidak efektif sebab belum tentu sang juara berbakat.”Untuk
kasus Fisika, yang berbakat biasanya malah tidak juara di kelasnya. Bedakan
antara genius dan rajin. Untuk meraih medali olimpiade dibutuhkan siswa yang
genius dan rajin,” tambah Yohannes.
Ia mengaku pernah melakukan tes terhadap sejumlah
siswa kelas dua SMA pemegang ranking lima besar di kelasnya, ternyata IQ tertinggi
hanya 112. ”Yang IQ-nya 150 nggak kejaring karena mereka bukan lima besar.
Artinya, sistem pendidikan kita belum bisa mengakomodasi siswa genius. Makanya
untuk kelas super yang akan dimulai Agustus mendatang itu, saya memberikan tes
untuk 5000 siswa. Jadi siapa saja boleh ikut,” tegas Yohannes. (CA/*/M-3).
* * *
‘Quo Vadis’ Genius Indonesia
‘Quo Vadis’ Genius Indonesia
SEMBILAN anak muda yang tengah berkumpul di
ruangan berwarna krem itu terlihat ceria, beberapa di antaranya terus
sumringah. Jumat (22/7) siang itu, boleh jadi hari yang menyenangkan bagi
mereka. Tetapi bukan karena para pelajar ini hendak bertatap muka langsung
dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), atau akan menerima uang dari
Pak Menteri, berkisar sekitar Rp5 juta sampai Rp10 juta. Yang jelas, para putra
bangsa peraih First Step to Nobel in P hysics, International Physics Olympiad,
dan International Biology Olympiad dan International Mathematics Olympiad itu,
merasa bangga telah berprestasi mengusung nama Indonesia di kancah
internasional, tahun ini.
”Prestasi siswa Indonesia di ajang internasional
sudah cukup baik meskipun persiapan seadanya. Akan lebih baik kalau kita
siapkan secara intensif,” ujar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang
Sudibyo, saat itu.
Mereka cerdas dan belia, beberapa di antaranya
masih harus menyelesaikan tahun terakhirnya di sekolah menengah atas (SMA).
Lainnya bersiap mengikuti perkuliahan di dalam dan luar negeri.
”Dari enam siswa yang berangkat ke
IMO–International Mathematics Olimpiad–kemarin, tiga di antaranya sudah di
Nanyang Technological University, Singapura. Dua orang akan kuliah di
Massachusetts Institute of Technology dan Illinois University,” kata dosen
matematika ITB yang juga menjadi leader Tim Olimpiade Matematika Indonesia,
Ahmad Muchlis.Tetapi ada pula di antara mereka yang masih harus menunggu
pengumuman hasil seleksi sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB), yakni Dimas
Yusup, alumni SMA Negeri 10 Samarinda, Kalimantan Timur. ”Harusnya, kampus bisa
lebih membuka diri untuk anak-anak berbakat itu,” ungkap leader Tim Olimpiade
Biologi yang juga mengajar di Jurusan Biologi ITB, Agus Dana Permana.
Padahal, universitas di negeri jiran, seperti
Nanyang Technological University Singapura hingga universitas sekelas
Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, bersenang hati membuka
jalan lebar untuk siswa berotak encer.
Ibaratnya, siswa-siswa cemerlang itu seolah warga
istimewa di negeri orang, berhak atas pendidikan terbaik tanpa biaya. ”Sekarang
ini memang tak ada pilihan buat Indonesia, karena pendidikan tinggi khususnya
tingkat pascasarjana masih jauh lebih baik di luar negeri,” kata Oki Gunawan,
yang sedang merampungkan tahun terakhir riset untuk program S-3 di bidang
Electronics Material Device di Princeton University, Amerika Serikat.Alumni Tim
Olimpiade Fisika Indonesia 1993 itu menilai, ‘jagoan’ berotak encer asal
Indonesia itu akan menjadi ‘tabungan Indonesia’ di masa depan. Karena
itu,menempa anak muda Indonesia sehingga memiliki kesempatan belajar yang lebih
baik di luar negeri tidak akan merugikan.
Senada dengan, humas Tim Olimpiade Komputer
Indonesia (TOKI) Fauzan juga mengatakan fokus TOKI lebih kepada bagaimana
caranya agar lebihbanyak lagi siswa yang mengikuti dan berprestasi di olimpiade
komputer. ”Kita sekarang baru mencetak dulu, bagaimananya nanti ya tergantung
mereka mengembangkan diri untuk negeri ini,” katanya. Karena, tambah Fauzan,
pemanfaatan IT (informatic technology) itu sangat luas, jadi tidak akan memaksa
mereka untuk menjadi scientis atau praktisi. Mereka cuma diberi bekal dan
terserah mereka akan ke mana dan bagaimana mengembangkannya.
Tetapi persoalannya, mengembangkan diri di dalam
negeri kerap terganjal kendala peralatan yang diperlukan sangat banyak, mahal
dan kurangnya tempat yang memadai.Apa boleh buat, akhirnya orang-orang genius
dari Bumi Pertiwi ini memilih melakukan riset di luar negeri, seperti yang
dilakukan OKI Gunawan.
Walau begitu, pria yang kini meneliti komponen
elektronika berskala Nano itu akan turut serta membantu mengembangkan TOFI, dan
ingin terlibat di Nano Center, pusat riset yang baru didirikan oleh Yohannes
Surya.
Dengan caranya sendiri, Oki dan teman-temannya
mengusahakan sesuatu untuk kemajuan Indonesia. ”Kami ini alumni TOFI tertular
semangat dan antusiasme Pak Yo–Yohannes Surya–yang sempat menggunting green
card dan memilih pulang ke Indonesia,” tegas Oki. Apalagi ungkapnya, olimpiade
merupakan saat untuk berkompetisi melawan negara-negara lain, jadi dipacu untuk
memberikan yang terbaik buat Indonesia baik sebagai siswa atau pelatih.Untuk
target nobel fisika pada 2020, mereka merancang riset di Princeton untuk
kemudian dikerjakan alumni TOFI yang masih duduk di bangku kuliah di Indonesia.
”Anak-anak Indonesia tidak kalah, bahkan yang berasal dari keluarga miskin
sekalipun. Yang penting harus ada akses yang wajar untuk pendidikan yang
bermutu,” tambah Oki. (CA/*/*/M-3).
* * *
Berbaur dengan 30 Peraih Nobel
MUMET (pusing) tetapi Rizal Fajar Hariadi
menikmati proses pengerjaan mikroskop untuk molekul tunggal (Mumet) tanpa rasa
pusing. Betapa tidak, pengalamannya berhadapan dengan soal-soal fisika lebih
dari delapan tahun silam telah menempanya menjadi tangguh.
Kelak, mikroskop optik dengan pembesaran 1.000
kali yang memanfaatkan cahaya–bukan elektron seperti umumnya–yang tengah dikerjakannya
itu, bisa menjadi rekor dunia.Itulah kegiatan yang tengah digarap alumni Tim
Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) 1997 ini. Karya Rizal ini dirancang mampu
melihat cara kerja molekul beberapa enzim yang bekerja seperti mesin di tubuh
manusia.
Siapa sangka pria muda berkaus abu-abu dan
bercelana jins, punya kemampuan luar biasa. Tetapi nyatanya, delapan tahun
silam dia sudah meraih satu medali emas untuk eksperimen dan satu medali perak
untuk teori di ajang Euro-Asia Physics Competition (EAPhC) di Turki. Kemudian
ia berkesempatan kuliah S-1 jurusan biokimia di Washington State University.
Tiga tahun silam, putra pasangan Muhammad Amin
dan Suhartati itu meraih Honorable Mention ‘USA Today’ All Academic Team. Kini,
peraih tiga besar dalam Apker Award –semacam lomba fisika untuk mahasiswa
se-USA 2003– itu, tengah merampungkan studi untuk mendapat gelar PhD bidang DNA
Nanotechnology di California Institute of Technology (Caltech), Amerika
Serikat. ”Kelihatannya saja kok yang hebat. Padahal masih banyak yang lebih
baik daripada saya,” ujarnya merendah ketika ditemui Media, Kamis (21/7) lalu
di SMU Al Azhar Jakarta.
Prestasi suami dari Nurul Iqtiyah ini memang
tidak main-main, dalam bidang yang ditekuninya, ia mendapatkan beasiswa Prof
Erik Winfree. Padahal, Caltech, kampusnya saat ini bukanlah universitas
kacangan. Terdapat 30 orang peraih Nobel dan segudang peraih penghargaan lain
berkumpul di kampus itu. ”Ada kelas-kelas yang sulitnya minta ampun.
Kadang-kadang profesornya sendiri sampai minta maaf karena PR-nya (pekerjaan
rumah) terlalu susah. Tapi biasanya, kalau sudah begitu, besok-besoknya kita
hanya diberi PR dengan dua sampai tiga soal saja,” ujarnya sambil tersenyum.
Meski mengaku merasa kesulitan, pria berusia 26 tahun itu mampu menjadi asisten Prof Rob Philips dalam kelas Physics of Biological Structure and Function. Salah satu murid dalam kelas tersebut, David Politzer, peraih Nobel Fisika 2004.”Ah, itu kebetulan saja karena jarang yang mendalami aplikasi fisika untuk biologi. Tidak banyak pilihan bagi Prof Rob Philips dalam memilih asistennya. Saya betul-betul senang dapat bekerja sama dengan orang yang saya kagumi,” ujar Rizal merendah.
Meski mengaku merasa kesulitan, pria berusia 26 tahun itu mampu menjadi asisten Prof Rob Philips dalam kelas Physics of Biological Structure and Function. Salah satu murid dalam kelas tersebut, David Politzer, peraih Nobel Fisika 2004.”Ah, itu kebetulan saja karena jarang yang mendalami aplikasi fisika untuk biologi. Tidak banyak pilihan bagi Prof Rob Philips dalam memilih asistennya. Saya betul-betul senang dapat bekerja sama dengan orang yang saya kagumi,” ujar Rizal merendah.
Berawal dari Prof Erik Winfree yang membuat pola
dalam struktur kecil menggunakan DNA pada 1998, sejak itulah Rizal memfokuskan
diri ke bidang DNA Nanotechnology.”Apa mau dikata, kesempatan pengembangan
sains terbuka sangat lebar di sini. Saat ini, saya bersama Oki Gunawan dan
Hendra yang juga alumni TOFI sedang memikirkan cara supaya anak-anak pintar di universitas
dalam negeri bisa melakukan penelitian dan memiliki jiwa peneliti. Saya juga
lagi berusaha mencari cara untuk bisa membawa mahasiswa Indonesia ke Amerika
pada musim panas nanti,” sebutnya.(CA/*/M-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar